Jakarta, Harian Umum- Ketua Koalisi Rakyat Pemerhati Jakarta Baru (Katar), Sugiyanto, menilai, Pergub DKI Jakarta No 148 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame, tidak perlu direvisi. Apalagi jika hasil revisi justru hanya akan membuat estetika Jakarta menjadi berantakan.
"Apa yang diatur dalam Pergub itu sudah baik dan jelas. Jadi, merevisi Pergub itu tak ada urgensinya," kata dia kepada harianumum.com di Jakarta, Jumat (13/4/2018).
Diakui, merevisi Pergub memang kewenangan gubernur, namun lazimnya sebuah peraturan direvisi jika ada ketentuan di dalam peraturan itu yang tidak lagi akomodatif dengan perkembangan terkini di masyarakat, atau tidak lagi sesuai dengan kepentingan umum.
Contohnya adalah saat Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok merevisi Pergub No 195 Tahun 2014 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor, menjadi Pergub No 141 Tahun 2015 .
Pergub itu direvisi karena melarang pengendara sepeda motor melintasi Jalan Medan Merdeka Barat-MH Thamrin, sehingga bukan hanya mengandung ketidakadilan, juga diskrimimasi bagi pengendara motor.
"Setelah Pergub direvisi, sepeda motor hanya tak boleh melintasi jalan-jalan itu pada pukul 05:00-23:00 WIB. Di atas jam itu, atau mulai pukul 23:00 hingga pukul 05:00 WIB, boleh. Namun belakangan, sesuai putusan MA, Pergub itu dicabut oleh Gubernur Anies Baswedan," jelas SGY.
Seperti diketahui, Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM-PTS) tengah merevisi Pergub No 148 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame, namun menurut informasi, revisi ini berpotensi merusak estetika di Kawasan Kendali Ketat karena di dalam draftnya terdapat ketentuan dimana di kawasan itu dapat diizinkan menggunakan tiang tumbuh.
Padahal, pada Pergub No 148 Tahun 2017, tepatnya di pasal 9, ditetapkan bahwa reklame di Kawasan Kendali Ketat hanya diizinkan di dinding bangunan atau di atas bangunan.
Yang mencurigakan, izin penggunaan tiang tumbuh di Kawasan Kendali Ketat disisipkan di pasal 16 huruf a poin 4 pada Bagian IV tentang Batasan Teknis Penyelenggaraan Reklame di Luar Sarana dan Prasarana Kota, bukan di pasal 9 yang mengatur tentang Kawasan Kendali Ketat.
Penyisipan ini menimbulkan kecurigaan kalau ketentuan itu sengaja disisipkan di pasal 16 agar saat Gubernur Anies Baswedan membaca draft itu sebelum ditandatangani, izin itu lolos dari pengamatannya.
Kecurigaan ini makin menebal karena izin penggunaan tiang tumbuh di Kawasan Kendali Ketat yang disisipkan di pasal 16 huruf a poin 4, diusulkan oleh sebuah asosiasi, tanpa melibatlan asosiasi yang lain, sehingga diduga kuat kalau penyisipan izin itu untuk mengakomodir kepentingan asosiasi tersebut.
SGY mengatakan, pengusaha sebaiknya tak hanya memikirkan kepentingannya sendiri, namun juga kepentingan rakyat banyak dan kota dimana mereka tinggal.
"Kalau penataan kota ini bagus, saya rasa para pengusaha juga akan diuntungkan karena Jakarta tak punya sumber daya alam, sehingga PAD (pendapatan asli daerah)-nya sebagian besar bersumber dari sektor jasa, termasuk pariwisata. Kalau penataan kota ini semrawut, berantakan, apa mungkin turis mau berbondong-bondong datang?" tanyanya.
Ia mengingatkan kalau selama ini pengusaha reklame sudah untung besar, karena bisnis reklame memang bisnis potensial, sehingga break even point (BEP) dapat dicapai hanya dalam 2-3 tahun.
"Setelah itu, pengusaha panen untung hingga puluhan miliar per tahun," tegasnya.
Sebelumnya, saat jumpa pers pada 25 Oktober 2017, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta dan Asosiasi Perusahaan Media Luargriya Indonesia (AMLI) mengeluhkan Pergub No 148 Tahun 2017 karena katanya, Pergub ini menghapus reklame konvensional dan menggantinya dengan reklame LED, sehingga pengusaha reklame konvensional yang rata-rata merupakan pengusaha kecil dan menengah, banyak yang bangkrut.
Kadin dan AMLI bahkan menuding kalau Pergub yang dikeluarkan di era Gubernur Djarot Saiful Hidayat itu bepotensi melanggar UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, karena Pergub itu bersifat diskriminatif dan menjurus pada praktik monopoli yang dapat menjadi muara munculnya praktik kartel di bidang reklame.
Soal klaim Kadin dan AMLI ini, SGY membantahnya. Menurut dia, klaim itu mengandung ketidakbenaran, misleading, disinformatif, dan menyesatkan, karena substansi dalam Pergub itu tidak mengharuskan penyelenggara reklame di DKI Jakarta menggunakan jenis reklame LED Screen/Display, dan juga tidak menghapus sama sekali jenis reklame konvensional.
“Substansi Pasal 9 dan Pasal 10 Pergub tersebut tidak membolehkan penyelenggaraan reklame jenis konstruksi tiang tumbuh di Kawasan kendali ketat dan Kendali Sedang yang menimbulkan polusi/sampah visual dan mengganggu estetika kota. Jenis reklame konvensional papan/billboard masih dibolehkan, seperti reklame papan/billboard pada halte/shelter, fly over, underpass, Jembatan Penyebarang Orang (JPO), Jembatan Penyeberangan Multiguna (JPM). Sedangkan di Kawasan Kendali Rendah, Kawasan Khusus, semua jenis reklame, termasuk jenis tiang tumbuh papan/billboard, dibolehkan. Jadi tidak harus gunakan LED Screen/Display di seluruh wilayah Jakarta, dan reklame konvensional tidak dihapus sama sekali,” jelas SGY panjang lebar.
Ia juga membantah klaim Kadin dan AMLI bahwa penggunaan teknologi LED (Light-Emitting Diode) sebagai media reklame digital, memboroskan energi listrik, karena LED merupakan teknologi paling baru dan dewasa ini banyak digunakan karena hemat energi listrik.
"Jika boros, kota-kota besar di dunia tidak akan mengizinkan pemasangan reklame LED," tegasnya.
Mantan Presidium Relawan Anies-Sandi (PRAS) ini meminta Gubernur Anies Baswedan mengkaji kembali rencana merevisi Pergub No 148 karena sebagai kepala daerah, Anies harus memprioritaskan kepentingan masyarakat banyak dibanding kepentingan sebuah asosiasi.
"Kalau pasal 16 huruf a poin 4 lolos dari pengamatan Anies dan draft revisi Pergub No 148 diteken, tiang-tiang tumbuh di Kawasan Kendali Ketat akan membuat estetika di kawasan itu rusak, dan memicu munculnya polusi visual," tegas SGY. (rhm)







