Jakarta, Harian Umum- Ketua Koalisi Rakyat Pemerhati Jakarta Baru (Katar), Sugiyanto, mengingatkan para pendukung mantan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, agar tidak membabi buta dalam menyerang kebijakan Gubernur Anies Baswedan dan Wagub Sandiaga Uno.
Pasalnya, pemimpin Jakarta periode 2017-2022 itu merupakan orang-orang yang teguh berpegang pada peraturan perundang-undangan, dan bukan tipe pemimpin yang senang menabrak aturan. Termasuk saat menutup Jalan Jatibaru Raya dalam rangka menata kawasan Tanah Abang.
"Jangan serang kebijakan Gubernur Anies (dalam) menata Tanah Abang, karena Beliau sedang menjalankan wewenang otonomi dalam membangun Jakarta," katanya di Jakarta, Sabtu (31/3/2018).
Ia mengingatkan bahwa DKI Jakarta sesuai UU No 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, merupakan provinsi yang secara khusus diberi kewenangan untuk mengatur wilayahnya sendiri (daerah otonom).
"Dengan kekhususan itu, Anies dapat membuat kebijakan yang tidak dapat dilakukan kepala daerah lain yang wilayahnya tidak berstatus wilayah otonom. Bahkan dengan status Jakarta yang demikian, Anies dapat menutup Jalan Jatibaru Raya," tegasnya.
Meski demikian aktivis yang akrab disapa SGY itu mengakui, penutupan Jalan Jatibaru itu dapat dilihat sebagai sebuah diskresi dari Anies atau sebuah kebijakan yang dibuat untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yang pelaksanaannya diatur pada Bab VI UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Menurutnya, sejak zaman era Gubernur Sutiyoso, kawasan Pasar Regional Tanah Abang yang merupakan pasar grosir terbesar di Asia Tenggara, merupakan kawasan yang paling sulit ditata karena kawasan itu bagaikan magnit yang menarik banyak orang untuk berdagang di sana, meski hanya sebagai pedagang kaki lima (PKL) dan pedagang asongan,
Persoalan lain, di Tanah Abang tidak ada terminal bus, meski di situ ada stasiun kereta.
Akibatnya, PKL dan pedagang asongan berbaur dengan angkutan umum yang berjumlah ratusan unit, dan angkutan ini wara wiri serta ngetem di tepi jalan, sehingga menciptakan kesemrawutan.
Kala gubernur DKI Jakarta dijabat Presiden Jokowi (2012-2014), PKL sempat dipindah ke lantai 3 dan 4 Blok G Pasar Tanah Abang. Sayang, karena gedung ini tidak memiliki lift atau eskalator seperti di blok-blok lain, PKL yang dipindah ke situ sepi pembeli, sehingga akhirnya kembali ke jalanan.
Celakanya, Jokowi nyapres di 2014 dan menjadi presiden, sehingga kesibukannya mengurus negara membuat mantan walikota Solo itu tidak pernah lagi mengurusi PKL yang dipindahkannya ke Blok G.
Gubernur pengganti Jokowi yang semula menjabat sebagai wakilnya, yakni Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, juga tak pernah mencari solusi bagaimana mengatasi PKL dari Blok G yang kembali ke jalanan itu, karena yang dia lakukan hanyalah melakukan penertiban dan penertiban, sehingga kawasan Tanah Abang terlihat rapi saat ditertibkan, namun setelah itu kembali semrawut karena PKL yang ditertibkan kembali menjajakan dagangannya (kucing-kucingan dengan petugas Satpol PP).
Menurut Sugiyanto, kondisi stag di kawasan Tanah Abang itu dapat menjadi dasar yang kuat bagi Anies untuk melakukan diskresi.
"Pasal 22 ayat (2) huruf d UU No 30 Tahun 2014 menyatakan; penggunaan diskresi oleh pejabat pemerintahan dapat bertujuan untuk mengatasi stagnasi dalam keadaan tertentu guna kemaslahatan dan kepentingan umum," jelas aktivis yang akrab disapa SGY itu.
Selain hal tersebut, lanjut dia, kebijakan Anies menutup Jalan Jatibaru Raya juga relevan dengan pasal 24 huruf d dan f UU No 30 Tahun 2014 dimana di situ ditetapkan bahwa penggunaan diskresi didasarkan pada alasan-alasan yang objektif dan dilakukan dengan itikad baik.
"Anies menutup Jalan Jatibaru Raya untuk menata kawasan Tanah Abang agar tidak terus semrawut dan agar PKL dapat berdagang dengan baik, tidak terus dihantui penertiban seperti di era Ahok. Pula, penutupan jalan itu hanya sementara, karena Anies dan Wagub Sandi telah punya planning jangka menengah dan jangka panjang," tegas SGY.
Ia pun berharap para pendukung Ahok lebih cerdas dalam menyikapi kebijakan-kebijakan Anies, dan tidak gatal tangan untuk buru-buru menyerang.
"Untuk Kemendagri dan Ombudsman, fair lah. Jangan hanya karena gubernur Jakarta bukan lagi Ahok, kalian mendadak menjadi sangat kritis dan peduli pada kebijakan Pemprov DKI, sementara di era Ahok kalian seperti tutup mata tutup telinga," pungkas dia.
Seperti diketahui, Sekjen Cyber Indonesia yang juga pendukung Ahok, Jack Boyd, melaporkan Anies ke Bareskrim Polri karena penutupan Jalan Jatibaru Raya.
Selain itu, belum jelas atas pengaduan siapa, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) turun ke lapangan untuk melakukan kajian. Hasilnya, ORI menyatakan, Pemprov DKI Jakarta telah melakukan empat tindakan malaadministrasi dalam penutupan Jalan Jatibaru Raya, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Penutupan jalan itu, berdasarkan temuan ORI, memperlihatkan kebijakan Pemprov DKI yang tidak kompeten, menyimpang secara prosedur, mengabaikan kewajiban hukum, dan melawan hukum.
Menurut ORI, Pemprov DKI perlu melakukan evaluasi menyeluruh dan penataan ulang kawasan Tanah Abang sesuai peruntukannya agar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal itu demi menghindari praktik malaadministrasi yang terjadi saat ini dengan membuat rancangan induk atau grand design kawasan dan rencana induk penataan PKL, menata dan memaksimalkan Pasar Blok G, dan mengembalikan fungsi Jalan Jatibaru Raya Tanah Abang sesuai peruntukannya.
ORI juga merekomendasikan menetapkan masa transisi guna mengatasi malaadministrasi yang telah terjadi dalam jangka waktu selambat-lambatnya 60 hari dengan melibatkan partisipasi semua pemangku kepentingan sesuai tugas dan fungsinya masing-masing.
Selain itu, Pemprov DKI harus memaksimalkan peran dan fungsi Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai tugas dan fungsi instansi terkait sebagaimana ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2011 tentang Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Menanggapi hal ini, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, Sumarsono, mengatakan, rekomendasi ORI kepada pemerintah daerah harus dilaksanakan. Jika tidak, Anies Baswedan akan disebut telah melakukan pelanggaran administratif.
Sanksi administratif atas pelanggaran itu, kata dia, tercantum dalam pasal 37 ayat (4) PP Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Ada beberapa sanksi yang bisa diberikan, yakni teguran tertulis, tidak diberi hak keuangan selama 3 bulan, tidak diberi hak keuangan selama 6 bulan, penundaan evaluasi raperda, pengambilalihan kewenangan perizinan, penundaan pemotongan Dana Alokasi Umum, disuruh mengikuti program pembinaan khusus, pendalaman bidang pemerintahan sanksi individual, sanksi pemberhentian sementara selama 3 bulan, dan pemberhentian tetap.
"Sanksi macam-macam ini Kemendagri yang akan mengkaji dan menilai," jelas Sumarsono.
Sikap ORI dan Kemendagri ini kontan menuai kritik dari berbagai kalangan, karena saat Ahok menjabat sebagai gubernur DKI, ORI dan Kemendagri diam saja meski Ahok melakukan banyak pelanggaran fatal.
Menurut pengamat kebijakan publik Amir Hamzah, inilah beberapa kebijakan Ahok yang seharusnya dapat dikenai sanksi:
1. Pembongkaran Bukit Duri yang masih dalam status sengketa
2. Pembongkaran Kalijodo dengan menggunakan dana dari pengembang
3. Membangun Simpang Susun Semanggi dengan dana kelebihan KLB yang tidak disetorkan ke kas daerah
4. Menerima dana CSR sekitar Rp5,2 triliun dari pengembang, namun tidak dimasukkan ke kas daerah dan antara lain digunakan untuk membangun Rusun serta RPTRA
5. Mengirimkan APBD 2015 untuk dikoreksi Kemendagri, namun bukan APBD yang disahkan dalam paripurna DPRD. (rhm)







