Jakarta, Harian Umum- Ketua Masyarakat Pemantau Kebijakan Eksekutif dan Legislatif (Majelis) Sugiyanto menilai, tindakan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM-UI) Muhammad Zaadit Taqwa kepada Presiden Jokowi merupakan bukti kalau pengawasan DPR tidak berjalan sebagaimana mestinya.
"Pemberian kartu kuning untuk Jokowi dari ketua BEM-UI (merupakan) bukti fungsi pengawasan DPR terhadap presiden, mandul," katanya kepada harianumum.com melalui telepon, Sabtu (3/2/2018).
Ia menegaskan, fungsi pengawasan tersebut penting, sama pentingnya dengan fungsi-fungsi yang lainnya, termasuk fungsi budgeting. Apalagi karena untuk pelaksanaan pengawasan tersebut, DPR dilengkapi hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
"Tapi selama ini, meski begitu banyak kebijakan Jokowi yang merugikan rakyat, bahkan merugikan negara, DPR diam saja, seperti mengiyakan saja, sehingga negara ini bukannya mengalami kemajuan seperti yang diiming-imingi Jokowi saat kampanye Pilpres 2014, malah mengalami kemunduran, terindikasi dari pertumbuhan ekonomi yang hanya berada di kisaran 5%, sementara di era Presiden SBY sempat mencapai 6%, bahkan di era Presiden Soeharto sempat tembus 7%," katanya.
Ia mengasumsikan DPR era Jokowi mirip DPR era Soeharto yang kerjanya cuma mengamini kebijakan-kebijakan presidennya yang cenderung otoriter, sehingga muncul istilah 4D untuk menyindir kelakuan anggota Dewan yang terhormat tersebut, yakni Datang, Duduk, Diam dan dapat Duit.
"Sebenarnya kebijakan pemerintahan Jokowi juga mengarah ke otoritarianisme seperti era Orde Baru (Soeharto), ditandai dengan ditangkapinya orang-orang yang kritis dan berseberangan dengannya, termasuk ulama. Tapi sayangnya, Jokowi tak mampu membangun perekomomian negara seperti Soeharto. Bahkan aset negara pun mau dijual-jualin seperti di era pemerintahan Megawati Soekarnoputri, dan alih-alih memenuhi janji menciptakan 10 juta lapangan pekerjaan, yang terjadi malah masuknya ribuan TKA ilegal dari China intuk bekerja di Indonedia yang seolah dibiarkan, tanpa upaya pencegahan secara maksimal," imbuh Sugiyanto.
Pria berkacamata yang akrab disapa SGY ini menyebut, banyak kebijakan Jokowi yang seharusnya dikritisi dan ditolak DPR, namun para wakil rakyat itu diam saja. Di antaranya penghapusan subsidi yang berimbas pada naiknya harga barang, termasuk BBM, dan menurunkan daya beli masyarakat.
Padahal, kata dia, penurunan daya beli masyarakat berdampak langsung pada pergerakan roda perekomomian, yang akhirnya juga akan mempengaruhi angka pertumbuhan ekonomi.
Yang parah, DPR juga tetap diam meski pemerintahan Jokowi kerap menaikkan harga BBM dan TDL (tarif dasaf listrik) secara diam-diam.
"DPR bahkan terkesan mentolerir meski begitu banyak indikasi kalau pemerintah Jokowi seolah membiarkan saja kebangkitan PKI, bahkan memenjarakan Ustad Alfian Tanjung yang mengingatkan bahayanya kebangkitan PKI, meski ini melanggar Tap MPRS No XXV/MPRS/1966. DPR juga membisu terhadap begitu kuatnya indikasi kriminalisasi ulama, meski ini dapat memecah belah bangsa," katanya.
Meski demikian, SGY mengaku memahami mengapa DPR mandul, yakni karena mayoritas fraksi partai di DPR merupakan pendukung pemerintahan Jokowi, di antaranya Fraksi PDIP, Hanura, NasDem, Golkar, PKB, dan PPP, sehingga fraksi-fraksi partai oposisi seperti PKS dan Gerindra, tak dapat berbuat banyak jika pengambilan keputusan/kebijakan saat sidang paripurna, dilakukan dengan mekanisme voting.
Ia menegaskan, jika rakyat Indonesia ingin DPR kembali bedaya guna dan tidak lagi 4D, maka di Pemilu 2019 jangan lagi memilih para caleg dari partai-partai yang memandulkan DPR. (rhm)







