REALITAS SOSIAL menunjukkan, keterbatasan akses terhadap pangan masih menghantui sebagian besar penduduk, termasuk kelompok kelas menengah yang kerap dianggap aman secara arsitektur ekonomi.
------------------------------
Oleh: Yudhie Haryono & Agus Rizal
CEO Nusantara Centre & Ekonom Universitas MH Thamrin
Tingkat kelaparan di Indonesia tertinggi kedua di ASEAN (rri.co.id/24/07/2024). Kita hanya menang dari Timor Leste dan kalah dari negara lainnya di wilaayah Asean.
Tentu ini prestasi terburuk yang melengkapi catatan buruk ekonomi lainnya selama 30 tahun terakhir di tangan para ekonom neoliberal. Padahal, dalam konteks pembangunan nasional, isu kelaparan seharusnya tidak lagi menjadi problem struktural dan kultural. Namun, realitas sosial menunjukkan bahwa keterbatasan akses terhadap pangan masih menghantui sebagian besar penduduk, termasuk kelompok kelas menengah yang kerap dianggap aman secara arsitektur ekonomi.
Stagnasi penghasilan, krisis ekonomi, peningkatan harga bahan pokok, inflasi pangan, serta ketimpangan distribusi menjadi ancaman nyata terhadap ketahanan konsumsi keluarga sehari-hari. Panca problema pangan ini rupanya tak pernah diselesaikan oleh elite pemerintah dan ekonom di sekitar istana. Sebaliknya isu ini dijadikan pariferalitas program, bukan tujuan, hanya akibat, dan tentu tidak ada agenda nasional yang terprogram jelas dan jenius.
Kelas menengah yang selama ini diposisikan sebagai penyangga stabilitas ekonomi justru berada dalam posisi rawan. Mereka hidup dalam bayang-bayang beban ekonomi yang tidak sebanding dengan perlindungan sosial yang diterima. Ketika terjadi krisis ekonomi, pandemi, atau bencana alam, kelompok ini seringkali kehilangan daya beli dan daya bayar secara drastis, bahkan jatuh miskin dalam waktu singkat. Kerentanan ini menunjukkan kegagalan sistem dalam menjamin keberlanjutan kesejahteraan. Kelas menengah rentan, bagaimana kelas bawah? Tentu lebih mengerikan. Saatnya revolusi pangan.
Sesungguhnya kemerdekaan, kedaulatan, ketahanan dan kemandirian pangan menjadi indikator paling konkret dari kerentanan tersebut. Kemampuan membeli makanan sehat dan bergizi kini tidak lagi dimiliki oleh semua kelompok masyarakat. Banyak rumah tangga kelas menengah yang mulai mengurangi kualitas konsumsi hariannya, mengganti protein hewani dengan karbohidrat murah, atau bahkan mengurangi frekuensi makan. Ini bukan hanya tentang kelaparan dalam arti fisik, tetapi juga kelaparan dalam dimensi kualitas hidup. Bagaimana kelas menengah kita akan ikut mendorong negeri ini jadi peradaban besar jika masalah dasar saja tak mampu diatasi?
Ekonomi Pancasila sebagai kerangka normatif pembangunan menempatkan manusia dan kesejahteraan kolektif sebagai titik pusat: alat, tujuan sekaligus cita-cita. Keadilan sosial tidak dapat diukur hanya dari pertumbuhan angka ekonomi makro. Ia harus diwujudkan melalui sistem yang mampu menjamin kebutuhan dasar seluruh warga negara, terutama dalam aspek pangan. Pembangunan yang abai terhadap dimensi ini akan menjadikan maereka terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang berulang. Jebakan “kembali miskin” terus berulang. Kaya untuk sementara ternyata merupakan “ritual” yang tidak tak terbantahkan.
Kita catat, kebijakan pangan selama ini belum sepenuhnya menyentuh akar persoalan. Negara terlalu sering mengandalkan pendekatan darurat seperti operasi pasar dan subsidi harga sesaat yang tidak menyentuh perbaikan sistemik. Di saat yang sama, distribusi pangan masih dikuasai oleh jaringan besar yang menyulitkan akses langsung produsen kecil ke konsumen akhir. Kesenjangan inilah yang menciptakan harga tinggi di hilir dan rendahnya insentif di hulu. Ini cara ekonomi ala neoliberal yang jelas-jelas membuat kita jadi “republik jahiliyah menyeluruh.”
Tentu saja, solusi atas persoalan ini harus mencakup reformasi sistem pangan nasional secara menyeluruh. Negara perlu memastikan cadangan pangan semesta, pemerintah harus terus menghadirkan buffer stock di tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan hingga desa. Subsidi pangan bagi keluarga rentan harus diberikan secara langsung dan terintegrasi dengan data terpadu kesejahteraan sosial. Sektor pertanian warga negara harus didukung melalui penyediaan benih unggul, pupuk terjangkau, dan jaminan harga hasil panen yang adil melalui lembaga penyangga pangan.
Pembangunan infrastruktur logistik pangan juga perlu dipercepat, termasuk gudang penyimpanan dingin, sistem distribusi berbasis koperasi, dan digitalisasi pasar tani. Pemerintah daerah dapat mengambil peran aktif dalam menciptakan pasar pangan lokal yang memangkas rantai pasok yang panjang dan mahal. Dengan mengurangi ketergantungan pada distributor besar dan membuka ruang bagi produsen kecil, stabilitas harga dan akses pangan lebih dapat dijaga. Dus, mematikan mafia pangan itu wajib dan harus segera. Sebab, merekalah aktor utama kehancuran kemandirian pangan warga-negara.
Selain itu, edukasi konsumen kelas menengah tentang pangan sehat dan keberlanjutan juga penting. Pola konsumsi yang bijak, dukungan terhadap produk lokal, serta inisiatif urban farming dapat memperkuat kedaulatan, kemandirian dan swasembada pangan keluarga dari sisi permintaan. Keterlibatan masyarakat dalam sistem pangan harus dilihat sebagai elemen strategis, bukan sekadar beban kebijakan.
Sudah saatnya narasi pembangunan tidak lagi berpusat pada statistik agregat semata. Ekonomi Pancasila harus dibumikan dalam kebijakan konkret yang menjamin ketersediaan, keterjangkauan, dan kualitas pangan bagi seluruh warga-negara. Maksimalisasi pangan sebagai alat penguasaan wilayah juga penting. Diplomasi pangan akan membuat kita meluncur menjadi peradaban besar. Ingat, ketika warga-negara mulai lapar, bukan hanya fisik yang terancam, tetapi juga legitimasi moral dari arah pembangunan itu sendiri.
Tanpa rasa kenyang, kecerdasan tak hadir, kritisisme tak mentradisi, inovasi tak lahir dan kita akan berputar-putar pada hal-hal dasar: besok makan apa. Bukan besok makan “negara mana.” Akankah kita menerima kondisi ini terus-terusan? Tentu saja tidak. Inilah momentum terbaik untuk membuktikan ke dunia bahwa kita punya ekonom jenius sekaligus ekonomi alternatif yang riil dan kongkrit.
Sejak sekarang, mari jadikan waktu kita waktu terbaik, hari kita hari terdahsyat dan kerja-belajar kita kerja-belajar terjenius serta kenegaraan kita berpancasila plus terkonstitusi dengan dahsyat. Tentu agar tidak ada sesal di akhir umur. Sambil menyadari bahwa mukjizat dan kemenangan tidak selalu muncul dalam bentuk yang spektakuler. Sering kali itu semua hadir dalam hal-hal kecil: dalam percakapan, dalam pertemanan yang tak disengaja, dalam pemahaman baru yang tiba-tiba muncul setelah merenung, dll.
Namun, untuk bisa melihat, merasa dan mendapat itu semua (peradaban besar Indonesia), kita harus tetap terjaga—pikiran kita harus aktif, hati kita harus terbuka dan perasaan harus positif, komunitasnya berkolaborasi, bergotong-royong dan terus bekerjasama. (*)