Jakarta, Harian Umum - Di Dakwanya Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok atas dugaan penistaan agama dengan dua pasal sekaligus dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yakni pasal 156 atau 156a. Ahli hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Edward Omar Sharif Hiariej menilai ada keraguan dari jaksa penuntut umum (JPU) dalam perkara itu. di Auditorium Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa, 14 Maret 2017.
Dua pasal alternatif tersebut, sengaja direpresentasikan di dalam ruangan persidangan agar nantinya semua dakwaan tersebut dibuktikan di persidangan. Sehingga, jaksa penuntut umum menyerahkan keputusan bagi majelis hakim untuk menentukan pasal yang menjerat Gubernur DKI Jakarta.
"Saya katakan bahwa dalam teori hukum pidana, ketika seorang penuntut umum memasang pasal yang bersifat alternatif atau dakwaan alternatif, sesungguhnya itu memperlihatkan keraguan bagi penuntut umum," ujar Edward
Sementara itu Ketua Jaksa Penuntut Umum Ali Mukartono membantah tudingan tersebut. Pendakwaan dengan dua pasal alternatif bukan menunjukkan adanya keraguan apakah ada tindak pidana atau tidak. Melainkan, keraguan terhadap tindak pidana mana yang bisa didakwakan terhadap Ahok.
Ali menilai ada kesengajaan dari Ahok atas dugaan penodaan agama terhadap dirinya. Pasalnya, Ahok juga pernah melakuan hal yang sama surat Al-Maidah di beberapa kesempatan, seperti yang digelar oleh Partai NasDem. Kejadian di Pulau Pramuka, tidak berdiri sendiri, melainkan ada rangkaian perbuatan lain yang mengikuti.
"Itu bagian dari rangkaian perbuatan yang berujung di Pulau Seribu (Pramuka)," ujar Ali.
Pada akhir masa persidangan, Ali mengatakan pihaknya baru akan menentukan dakwaan terhadap Ahok lewat pembacaan tuntutan. Baru setelah itu, majelis hakim memberikan keputusannya seperti apa.
"Dia (hakim) otonom dan independen untuk memutuskan (perkara)," ujar Ali.